Senin, 25 Maret 2013

Mungkinkah Syi'ah dan Sunnah Bersatu??!! (Bagian 1)



Mungkinkah Syiah dan Sunnah bersatu???!!
(Bagian 1)

Ini adalah sebuah kitab kecil yang saya tulis ulang dan saya posting di sini sebagai bentuk pengingkaran saya kepada agama syiah itsnay asyariyah yang telah selalu membuat kerusakan di muka bumi ini sejak zaman sahabat hingga sekarang. 

Mungkin kelompok ini melakukan taqiyyah (berdusta) dengan mengatakan bahwa agama kita dan mereka sama. Itu hanyalah untuk membohongi kita dan untuk mengelabui pemerintah agar mereka tetap dibolehkan berada di atas bumi ini.

Pernah suatu saat, ada seorang dari mereka yang menyatakan di dalam sebuah tulisannya yang intinya:
Muhammad di utus untuk menyampaikan agama Islam yang mulia ini. Tapi kemudian agama Islam terkotori dan terpecah belah karena yang menyampaikan kepada kita adalah para sahabat adil yang berkhianat.
Saat itu saya tidak tahu kalau dia dari agama syiah. Maka saya katakan: “Siapa maksud anda dengan para sahabat adil? Apakah maksud anda ada sahabat adil dan sahabat yang tidak adil?”
Dia menjawab : “Ya iya tho, kayak kakekmu itu kan sahabat yang berkhianat”
Karena saya tidak mengerti saya bertanya lagi : “maksud anda apa? Saya yakin kalo semua sahabat itu diridhoi oleh Alloh dalam firmanNya ‘rodhiyallohu anhum wa rodhuu ‘anhu’”.
Dia menjawab : “gimana tho? Kamu mengatakan Alloh meridhoi mereka, tapi saya katakan sahabat adil tidak mau? Orang aneh. Lho??gak ngerti juga? Kakek kamu kan mbah dukun yang suka berkhianat”
Saat itu barulah saya sadar kalo yang dia maksud adalah Abu Bakar as Shiddiq y . Dan tahulah saya bahwa dia orang syiah.
Diapun berkata lagi : “kamu mengatakan firman ini dan itu, emanknya gue pikirin? Al qur’an yang tersebar sekarang kan udah dirubah2 sama mbah dukunmu.”
Saya jawab: “ owh begitu, saya juga ingin tahu isi dari mushaf Fathimah yang kalian anggap sebagai al qur’an yang haq itu”
Tapi orang itu malah tetap saja menghina Abu Bakar dan Umar tanpa habis-habisnya dan saya biarkan saja. Kemudia dia mengajak berdebat tentang mana yang benar antara mushaf fathimah dan al quran. Dan terakhir akhirnya saya jawab:
“Owh..begitu? ya…saya Cuma berdoa, semoga kalian benar2 menjadi pembela ahlu bait dan semoga tidak mengkhianati mereka dan tidak membunuh mereka sebagai mana yang kalian lakukan kepada cucu Rosululloh yang amat beliau sayangi. Dan saya rasa kita tidak perlu berdebat, untuk apa? Toh kitab suci kita beda, kitabku Al Qur’an dan kitabmu mushaf Fathimah,,,Nabi kita juga beda, Nabiku Muhammad r dan Nabimu Aliy,,,bahkan Mungkin kalian menganggap Tuhan kita beda…Tuhanku Alloh dan kalian menganggap Ali sebagai Tuhan (jika dia bersekte nusyoiriyyah)…jadi kita berbeda agama, so tidak perlu diperdebatkan lagi. Selama ini pemerintah tidak percaya kalo kalian bukan dari agama Islam, tapi ,mungkin kalo lihat dialog kita baru pemerintah percaya betapa jauh dan bedanya kalian dari agama Islam”.
Setelah itu, orang itu tidak menjawab balik, hari berikutnya saya cari-cari, ternyata pernyataan dia dan koment saya sudah dihapus sama dia…
Dan belum lama ini, dan masih berlangsung sampai sekarang ini…penindasan yang dilakukan oleh orang-orang syiah sekte nusyoiriyah, sekte Syi’ah yang paling kejam dan berbahaya terhadap kaum muslim di Suriah. Mereka dipaksa untuk mengatakan “laa ilaaha illa basyar” yaitu Basyar ibn Asad, presiden mereka. Subhanalloh, Maha Suci Alloh dari segala bentuk kesyirikan. Ini adalah sama dengan yang dikatakan oleh Fir’aun  yang mengklaim dirinya sebagai Tuhan.
Mungkin anda akan berkata : syiah di daerahku tidak seperti itu. Ya, karena syiah itu juga bermacam-macam sektenya. Dan syi’ahnya Basyar ibn Asad ini syiah yang paling berbahaya. Tapi semua syi’ah memiliki tujuan yang sama yaitu memusnahkan semua ahlus sunnah dari muka bumi ini.
Lantas, jika demikian,,, mungkinkah syiah dan sunnah bersatu?? Tentu saja jawabannya tidak.

Kitab ini ditulis oleh : Syaikh Muhibbin Al Khathib.
Judul Asli : Al Khututh al ‘aridhah lil usus alatiy qomaa ‘alaihaa din as Syi’ah al Imamiyah al Itsna asyariyah.
Judul Terjemahan : Mungkinkah syiah dan Sunnah bersatu??
Ini adalah sebuah tinjauan kritis terhadap prinsip-prinsip Dasar Sekte Syiah Imamiyah itsnay Asyariyah.

MUQODDIMAH
Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rosul termulia dan keluarganya dan seluruh sahabat. Wa ba’du.

Seruan kepada pendekatan (taqrib) antara agama syiah Imamiyah Itsna ‘asyariyah dan selain mereka baik dari kalangan Ahlus Sunnah, Zaidiyyah dan Ibadiyyah yang gencar dikumandangkan pada tahun-tahun terakhir ini telah menarik perhatian banyak orang untuk mengkaji permasalahan ini secara ilmiah.

Shohibul Fadhilah, sastrawan besar muslim, sayyid muhibbudin al Khathib telah melakukan pengkajian ini melalui buku-buku utama sekte syiah guna mencari celah untuk tercapainya taqrib ini. Namun terbukti bagi beliau bahwa terwujudnya taqrib adalah suatu hal yang mustahil. Hal ini terjadi karena para penggagas agama syiah tidak menyisakan satu celah pun untuk terjadinya taqrib tersebut. Mereka menegakkan agama Syiah di atas pilar-pilar yang benar- benar bertentangan dengan syariat Nabi r dan agama yang diserukan oleh para sahabat beliau r. Agama yang beliau wariskan adalah agama yang terang benderang nan bercahaya. Tiada orang yang menyeleweng darinya melainkan orang yang benar-benar binasa.

Kami merasa perlu untuk mempersembahkan karya ini kepada Anda semnua karena nukilan yang diebutkan dalam karya tulis ini benar-benar valid. Nukilan-nukilan ini langsung diambil dari buku-buku utama  sekte imamiyah itsnai ‘asyariyah dengan disertai nomor halaman serta edisi terbitannya. Dengan demikian tidak mungkin ada orang yang mengingkarinya. Ini semua penulis lakukan agar kita semua mendapatkan kejelasan, agar orang yang tersesat benar-benar tersesat setelah adanya penjelasan pula. Akhirnya hanya Alloh-lah yang menjadi pembela bagi orang-orang yang telah mendapatkan petunjuk.
Jeddah, 14 Rojab 1380 H
Muhammad Nashif


PRINSIP-PRINSIP DASAR AJARAN SEKTE SYI’AH AL IMAMIYYAH
( Mustahil didekatkan terhadap prinsip-prinsip Islam dengan berbagai aliran dan kelompoknya)

Upaya mendekatkan pemikiran, kepercayaan, visi dan misi  ummat Islam merupakan cita-cita syariat Islam. Yang demikian itu karena kekuatan, kebangkitan , kejayaan, tatanan masyarakat dan persatuan ummat Islam di setiap maa dan Negara bergantung padanya.
Setiap seruan kepada pendekatan semacam ini  -bila benar-benar bersih dari berbagai kepentingan dan tataran aplikasinya tidak mendatangkan dampak yang lebih besar dibandingkan kemaslahatannya- maka setiap muslim wajib memenuhinya dan bahu-membahu bersama seluruh komponen umat Islam guna mewujudkannya.
Beberapa tahun terakhir, seruan semacam  ini ramai dibicarakan orang, kemudian berkembang sampai-sampai ada sebagian ummat Islam yang terpengaruh olehnya. Tak luput darinya Universitas al Azhar, salah satu lembaga pendidikan agama Islam paling terkenal dan paling besar yang dimiliki oleh Ahlus Sunnah yang menisbatkan dirinya kepada empat madzhab fiqh yaitu Madzhab Syafi’I, Maliki, Hanafi dan Hanbali. Ini menyebabkan Universitas Al Azhar melebarkan misi “pendekatan” melebihi misi yang selama ini diembannya sejak masa Sholahuddin al Ayyubi. Pengaruh ini telah mengakibatkan Al Azhar keluar dari misi awalnya itu menuju upaya untuk mengenal berbagai madzhab lainnya terutama madzhab syi’ah al imamiyyah al itsnaiy ‘asyariyah. Walaupun demikian, dalam hal ini Al Azhar masih dalam perjalanan. Oleh karenanya, sangat urgen bagi setiap muslim yang berkompeten untuk mengkaji, mempelajari dan memaparkan masalah ini. Kajian yang bertujuan menggali segala hal yang terkait dengannya dengan mempertimbangkan segala dampak dan resiko yang mungkin terjadi.

Karena berbagai permasalahan dalam agama itu sangat rumit,  penyelesaiannyapun haruslah dengan cara yang bijak, cerdas dan tepat. Orang yang mengkajinyapun harus benar-benar menguasai segala aspeknya, berilmu dan bersikap obyektif dalam setiap kajian dan kesimpulannya. Dengan demikian, solusi yang ditempuh dengan izin Alloh benar-benar akan membuahkan hasil yang diinginkan dan mendatangkan berbagai manfaat positif.

Menurut hemat kami, syarat pertama agar hal ini –juga setiap perkara yang berkaitan dengan berbagai pihak- berhasil adalah adanya interaksi dari kedua belah pihak atau seluruh pihak terkait.

Kita contohkan dengan perkara pendekatan antara ahlus sunnah dengan sekte syi’ah. Guna merealisasikan seruan pendekatan (taqrib) antara kedua paham ini didirikanlah suatu lembaga di Mesir yang didanai oleh anggaran belanja Negara yang berpahamn Syi’ah telah memberikan bantuan resmi tersebut hanya untuk kita. Mereka tidak memberikan hal tersebut kepada bangsa dan penganut pahamnya sendiri. Mereka tidak pernah memberikan bantuan ini guna mendirikan “Lembaga Pendekatan” di kota Teheran atau Kum atau Nejef atau Jabal ‘Amil atau tempat-tempat lain yang merupakan pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah.

Bhakan sebaliknya, beberapa tahun terakhir ini dari berbagai pusat pengajaran dan penyebaran paham Syi’ah tersebut diterbitkan berbagai buku yang meruntuhkan impian solidaritas dan pendekatan. Buku-buku yang menjadikan bulu rima kita berdiri. Di antara buku-buku tersebut adalah buku az Zahra yang terdiri atas tiga jilid yang diedarkan oleh ulama kota Najef. Dalam buku tersebut, mereka mengisahkan bahwa Amirul Mukminin, Umar bin al Khoththtob ditimpa suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan kecuali dengan air mani lelaki!!?? Buku tersebut berhasil didapatkan oleh Ustadz Al Basyir al Ibrohimiy, ketua ulama al Geria (Aljazair) pada kunjungan pertama ke Iraq.

Sebenarnya, kebutuhan jiwa najis yang telah mencetuskan kekejian paham semacam ini kepada “seruan pendekatan” lebih mendesak disbanding dengan kebutuhan ahlus sunnah kepadanya.
Sebagai contoh : Di antara perbedaan paling mendasar antara kita dan mereka berkisar pada dua hal berikut:
1.       Dakwaan bahwa mereka lebih loyal dibandingkan kita kepada ahlu bait.

2.       Sikap mereka yang menyembunyikan –bahkan menampakkan-  kebencian dan permusuhan kepada para sahabat Rosululloh r. Padahal di atas pundak merekalah agama Islam ini tegak. Kebencian ini menjadikan mereka berani melemparkan tuduhan keji semacam ini kepada amirul Mukminin Umar ibn al Khoththob y.
Andai mereka bersikap obyektif, niscaya mereka lebih dahulu mengurangi kebencian dan permusuhan mereka kepada para imam generasi pertama umat Islam ini. Kemudian, mereka bersyukur kepada Ahlu Bait. Ahlus Sunnah tidak pernah lalai dari kewajiban menghormati dan memuliakan mereka (ahlu bait).

Lain halnya bila yang dimaksudkan dengan penghormatan kepada Ahlu Bait adalah : menjadikan mereka sebagai sesembahan yang diibadahi bersama Alloh, sebagaimana yang mereka lakukan di berbagai kuburan ahli bait yang berada di tengah-tengah penganut  paham syi’ah.

Interaksi  harus  dilakukan secara imbal balik antara kedua belah pihak  yang diinginkan untuk terjalin toleransi dan pendekatan antara  keduanya. Akan tetapi, interaksi tidak akan pernah terwujud selain dengan mempertemukan antara yang positif dan yang negative (  pro dan kontra ). Interaksi juga tidak akan pernah terealisasi bila berbagai gerak dakwah dan aplikasinya hanya terfokus pada satu pihak semata sebagaimana yang terjadi sekarang ini.

Kami juga mengkritik keberadaan lembaga pendekatan ( taqrib ) tunggal yang berpusat di ibu kota negeri  ahlus sunnah , Mesir, karena tidak diimbangi oleh pusat-pusat kota negri  Madzhab Syi’ah. Bahkan,berbagai pusat penyebaran paham Syi’ah itu gencar mengajarkan paham Syi’ah dan memusuhi paham lain.  Kami juga mengkritik upaya memasukkan  permasalahan ini sebagai mata kuliah di Universitas Al Azhar selama hal yang sama tidak dilakukan di berbagai perguruan Syi’ah.

Karena upaya ini sebagaimana yang sekarang terjadi hanya diterapkan sepihak, maka tidak akan pernah berhasil. Bahkan, tidak menutup kemungkinan malah menimbulkan reaksi balik yang tidak terpuji.
Salah satu cara paling sederhana dalam mengadakan pengenalan ialah dengan memulainya dari permasalahan furu’ sebelum membahas berbagai permasalahan ushul  ( prinsip )! Ilmu fiqih ahlus sunnah dan ilmu fiqih syi’ah tidak bersumber dari dalil-dalil yang disepakati oleh kedua kelompok. Dasar-dasa r fiqih  keempat  imam  madzab ahlus sunnah berbeda dengan dasar-dasar fiqih syi’ah .

Selama tidak terjadi penyatuan dasar-dasar dan ushul sebelum kita mengkaji berbagai permasalahan furu’ dan selama tidak ada penyatuan persepsi kedua belah pihak  tentang sumber-sumber hukum yang diimplementasikan di lembaga-lembaga pendidikan agama yang mereka miliki, tidak ada gunanya kita membuang-buang  waktu untuk membahas permasalahan furu’ . Yang kita maksudkan bukan hanya ilmu fiqih , tetapi ushul ( dasar-dasar ) agama kedua belah pihak dari akar permasalahannya yang paling mendasar.
                                                                Permasalahan Taqiyyah
Penghalang pertama bagi  terwujudnya solidaritas yang benar lagi tulusantara kita dan mereka ialah apa yang mereka sebut  dengan “Taqiyyah”. Taqiyyah adalah suatu keyakinan dalam agama Syi’ah yang membolehkan mereka untuk bermuka dua tatkala berada di hadapan kita. Akibat idiologi ini seorang sunni yang lugu tertipu dengan penampilan mereka yang mengesankan ingin mengadakan solidaritas dan pendekatan. Padahal sebenarnya mereka tidaklah menginginkan, tidak rela dan tidak akan pernah menerapkannya. Mereka hanya rela bila pendekatan ini hanya dilakukan oleh satu pihak saja. Mereka sendiri akan tetap berada dalam kenylenehannya tanpa bergeser sedikitpun walau hanya sehelai rambut.
Walau para actor “taqiyyah” dari mereka berhasil meyakinkan kita bahwa mereka telah maju beberapa langkah mendekati kita, tetapi masyarakat Syi’ah seluruhnya –pemuka mereka dan masyarakat awamnya- akan tetap terpisah dari para actor sandiwara ini. Mereka tidak akan pernah menerima apapun yang akan dikatakan oleh para altor sandiwara tersebut.

Celaan Terhadap Al Qur’an
Al Qur’an Al Karim –yang semestinyamenjadi standart setiap upaya taqrib agar terjalin persatuan- tidak berguna lagi bagi mereka. Yang demikian ini karena prinsip-prinsip agama mereka tegak di atas pentakwilan ayat al Qur’an dan pemalingan artinya kepada pemahaman yang diwarisi oleh para sahabat rhodiyallohu ‘anhum dari Nabi r . Mereka memalingkannya kepada pemahaman aneh dan pemahaman yang tidak pernah diwarisi oleh para sahabat, imam-imam kaum muslimin, generasi yang padanya diturunkan al Qur’an .
Salah seorang ulama terkemuka di Najef, Haji Mirza Husain ibn Muhammad Taqi an Nuri at Thobarsi, adalah salah satu figure yang mereka agungkan. Sampai-sampai ketika ia wafat pada tahun 1320 H, mereka menguburkannya di komplek pemakaman Al Murtadhowi di kota Najef di singgasana kamar Banu al Uzma binti Sultan an Nashir Lidinillah. Tempat itu adalah teras kamar yang menghadap kiblat. Teras ini terletak di sebelah kanan pintu masuk ke halaman al Murtadhowi dari arah kiblat. Ini adalah tempat paling suci bagi sekte Syi’ah.

Pada tahun 1292 H di saat berada di kota Najef di sisi kuburan yang dinisbatkan kepada Imam Ali –semoga Alloh memuliakan wajahnya- tokoh kota Najef menulis sebuah buku yang ia beri judul Fashul Khithob fi Itsbati Tahriifi Kitab Rabbil Arbaab (keterangan tuntas seputar pembuktian terjadinya penyelewengan pada kitab Tuhan para Raja). Ia mengumpulkan berates-ratus nukilan ulama-ulama dan para mujtahid Syi’ah sepanjang masa. Nuklan-nukilan tersebut memuat penegasan bahwa Al Qur’an Al Karim telah ditambah dan dikurangi.

Buku karya at Thobarsi ini telah di Iran pada tahun 1289 H. Kala itu buku ini mengundang kontroversi luas di tengah-tengah mereka. Sebelumnya mereka ingin agar upaya peraguan tentang keotentikan Al Qur’an hanya diketahui oleh kalangan tertentu di antara mereka. Mereka juga menginginkan agar teks-teks itu  tetap tersebar di ratusan kitab mereka. Oleh karenanya, mereka menginginkan agar data-data ini tidak dikumpulkan dalam satu buku yang dicetak dalam jumlah besar. Mereka tidak ingin data-data ini diketahui oleh musuh mereka, sehingga dapat menjadi boomerang bagi mereka.

Tatkala para tokoh mereka menyampaikan kritikan ini, penyusun kitab ini menantang mereka. Bahkan ia menulis kitab lain yang ia beri judul Roddu ba’dis Syubhat ‘an Fashlil Khithob fi Itsbati Tahriifi Kitab Robbil Arbaab ( Bantahan terhadap kitab yang ditulis at Thobarsi). Ia menulis kitab ini pada akhir hayatnya yaitu dua tahun sebelum ia wafat.

Sungguh kaum Syi’ah telah memberikan penghargaan atas jasanya (at Thobarsi) dalam pembuktian bahwa al Qur’an telah mengalami penyelewengan. Mereka menguburkannya di tempat istemewa di komplek keturunan Ali di kota Najef.

Di antara hal-hal yang dijadikan bukti oleh Tokoh kota Najef ini bahwa telah terjadi kekurangan pada al Qur’an ialah dia menyebutkan pada halaman 180 sebuah surat yang oleh kaum Syi’ah disebut surat al Wilayah. Pada surat ini ditegaskan akan kewalian sahabat ‘Ali y :
-( يَا أيُّهاَ الَّذِي آمَنُوْا آمِنُوْا بِاانَّبِيّ وَ الوَلِيّ الَّذَيْنِ بَعَثْنَاهُمَا يَهْدِيَانَكُمْ إلَى الصِّرَاطِ المُسْتَقِيْمِ .... الخ )-

“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kalian kepada seorang Nabi dan wali yang telah kami utus guna menunjukkan kepadamu jalan yang lurus…dst”

Ustadz Muhammad Ali Su’udi –beliau adalah kepala tim ahli di departemen Keadilan di Mesir dan salah satu murid terdekat Syaikh Muhammad Abduh- berhasil menemukan “Mushaf Iran” masih dalam bentuk manuskrip. Mushaf itu merupakan salah satu koleksi orientalis Brin. Beliau berkesempatan untuk mengabadikan surat tersebut dengan kamera. Di atas teks arabnya terdapat terjemahan dengan bahasa Iran (Persia), persis seperti yang dimuat oleh at Thobarsi dalam bukunya “Faslul Khithob fi tahriifi Kitab Robbil Arbaab”.

Surat ini juga dapat ditemukan dalam buku mereka yang berjudul Dabistan Madzahib dengan bahasa Iran (Persia) karya Muhsin Fani al Kasymiri. Buku ini dicetak di Iran dalam beberapa edisi.
Surat palsu ini dinukil oleh seorang orientalis bernama Noldekh dalam bukunya Tarikh al Mashohif (sejarah Mushhaf-mushhaf) jilid II halaman 102, diterbitkan oleh harian Asia-Prancis pada tahun 1842 M halaman 431-439.

Tokoh kota Najef ini, disamping berdalil dengan surat al Wilayah atas terjadinya perubahan pada Al Qur’an, juga berdalil dengan riwayat yang termakhtub pada hal: 289 dari kitab “al Kafi” (judul panjangnya adalah : Al Jami’ Al Kafi karya Abu Ja’far Yaqub al Kulaini ar Rozi) edisi tahun 1287 H, Iran. Kitab Al Kafi ini menurut sekte Syi’ah sama kedudukannya dengan shohih Bukhori menurut kaum muslimin. Pada halaman kitab al KAfi tersebut termakhtub:

“Sejumlah ulama kita meriwayatkan dari Sahl bin ZIyad dari Muhammad bin Sulaiman, dair sebagian sahabatnya, dari Abu Hasan –alaihis salam- maksudnya Abu Hasan kedua yaitu Ali bin Musa ar Ridho (wafat pada tahun 206 )- ia menuturkan: “Dan aku berkata kepadanya, “Semoga aku menjadi penebusmu. Kita mendengar ayat-ayat al Qur’an yang ada, dan kita juga tidak dapat membacanya sebagaimana yang kami dengar dari Anda. Apakah kami berdosa?” Beliau menjawab, “Tidak. Bacalah sebagaimana yang telah kalian pelajari karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari kalian.”

Tidak diragukan bahwa ucapan ini merupakan hasil rekayasa kaum Syi’ah atas nama imam mereka Ali bin Musa Ar Ridho. Walau demikian, ucapan ini merupakan fatwa bahwa penganut Syi’ah tidak berdosa bila membaca Al Qur’an sebagaimana yang dipelajari oleh Masyarakat umum dari mushaf Utsmani. Hal ini karena orang-orang tertentu dari kalangan Syi’ah akan saling mengajarkan kepada sebagian lainnya hal-hal yang menyelisihi Mushhaf tersebut. Di antaranya berupa beberapa hal yang mereka yakini ada atau pernah ada pada mushaf-mushaf imam mereka dari kalangan ahlu bait (keturunan Nabi Muhammad r).

Inilah al Qur’an yang mereka yakini. Mereka merahasiakannya di kalangan mereka dan tidak mempublikasikannya karena ideology taqiyyah. Andai kata seluruh ulama besar Syi’ah tidak meyakini bahwa al Qur’an telah diselewengkan, mustahil mereka menyanjung at thobarsi –penulis buku yang memuat ribuan haidts yang membuktikan penyelewengan al Qur’an- dengan berbagai sifat yang indah. Misalnya , “Semoga Alloh mensucikan ruhnya” atau “dia adalah imam para ahli hadits”. Seandainya mereka tidak meyakini seperti ini, mereka pasti ramai-ramai membantahnya, menentangnya, atau memvonisnya sebagai ahli bid’ah atau orang kafir…. Karena..masih adakah keislaman bagi orang yang mengatakan bahwa Al Qur’an telah mengalami penyelewengan??!!

Alasan Husain bin Muhammad Taqi an Nuri at Thobarsi menulis bukunya itu adalah untuk mengadakan perbandingan antara Al Qur’an Syi’ah dengan al Qur’an yang telah diketahui oleh setiap orang dan telah memasyarakat serta termakhtub pada Al Mushaf al Utsman.

Walaupun kaum syi’ah mengesankan bahwa mereka berlepas diri dari buku An Nuri at Thobarsi dalam rangka ideology  taqiyyah, tetapi buku tersebut termuat berates-ratus nukilan dari ulama mereka yang terdapat dalam kitab-kitab mereka yang terpercaya. Ini adalah salah satu bukti nyata bahwa mereka meyakini dan beriman terhadap adanya penyelewengan. Hanya saja, mereka tidak menginginkan terjadinbya kontroversi seputar idiologi mereka tentang al Qur’an.

Kesimpulannya : Ada dua al Qur’an : Yang pertama adalah Al Qur’an yang telah tersebar luas dan diketahui oleh setiap orang dan yang kedua adalah al Qur’an khusus yang tersembunyi yang diantara isinya ialah surat al Wilayah. Dalam hal ini, mereka mengamalkan pesan yang mereka rekayasa atas nama seorang imam mereka yaitu Ali bin Musa ar Ridho : “Bacalah sebagaimana yang pernah kalian pelajari karena suatu saat nanti akan datang orang yang mengajari kalian!”.

Di antara ayat,menurut sekte Syi’ah yang telah dihapuskan dari Al Qur’an ialah ayat:
-(( وَ جَعَلْنَا عَلِيًّا صَهْرَكَ ))-
“Dan Kami jadikan Aliy sebagai menantumu”
Mereka beranggapan bahwa ayat ini telah dihapuskan dari surat alam nasroh. Mereka tidak merasa malu dengan anggapan ini padahal mereka mengetahui bahwa surat alam nasroh adalah surat Makiyyah, sedangkan yang menjadi menantu beliau y kala itu adalah Al Ash ibn Ar Robi’ al Umawi. Al ‘Ash ini pernah dipuji oleh Rosululloh y dari atas mimbar masjid Nabawi as Syarif tatkala sahabat Aliy berencana menikahi anak wanita Abu Jahal sebagai madu bagi istrinya, Fathimah. Oleh sebab itu Fathimah mengadukan suaminya kepada ayahnya.

Apabila sahabat ‘Aliy adalah menantu Nabi karena menikahi seorang putrid beliau, maka Alloh juga telah menjadikan sahabat Utsman bin Affan sebagai menantu beliau karena telah menikahi dua putrid beliau. Nabi bersabda kepadanya ketika istri keduanya –Ummu Kultsum- meninggal dunia:
( لَوْ كَانَ لَنَا ثَالِثَةٌ لَزَوَجْنَاكَهَا )
“Andai aku memiliki anak wanita ketiga, niscaya akan aku nikahkan engkau dengannya”.

Tokoh mereka yang bernama Abu Manshur Ahmad bin Ali bin Abi Tholib at Thobarsi –salah seorang syaikh Ibnu Syahruasyub (wafat tahun 588 H)- dalam bukunya, al Ihtijaj ‘ala Ahli al Lijaj, menyebutkan bahwa sahabat Ali pada suatu hari berkata kepada salah seorang zindiq (kaum sesat)-ia tidak menyebut namanya- “adapun sikapmu yang tidak peduli dengan firman Alloh ta’ala:
-(( وَ إِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُفْسِطُوا فِي اليَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ ))-
“Dan bila kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap wanita yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wnita-wanita lain yang kamu sukai” (QS. An Nisa : 3) tidak ada kaitannya antara berbuat adil kepada anak-anak yatim dan menikahi wanita, dan tidaklah setiap wanita itu yatim. Ayat yang sebenarnya ialah apa yang telah aku kemukakan kepadamu bahwa kaum munafiqin (maksud at Thobarsi di sini adalah para sahabat Nabi) telah menghapus berbagai perintah dan kisah dari Al Qur’an yang terletak di antara firman Alloh tentang anak-anak yatim hingga firman Alloh tentang menikahi wanita. Mereka menghapus lebih dari sepertiga al Qur’an”.!?

Tidak diragukan bahwa kisah ini bagian dari kedustaan mereka atas sahabat Ali y. Buktinya, beliau sendiri sepanjang masa kepemimpinanya tidak pernah mengumumkan kepada kaum muslimin bahwa sepertiga al Qur’an telah dihapus dari tempat ini. Beliau juga tidak memerintahkan kaum muslimin untuk menulisnya kembali, mempelajari atau mengamalkan kandungannya.

Buku karangan at thobarsi ini pertama kali diterbitkan kira-kira 80 tahun silam. Buku inipun cepat beredar di kalangan sekte Syi’ah Iran, Kota Najef dan kota lainnya. Buku ini penuh dengan puluhan bahkan ratusan kisah palsu atas nama Alloh dan hamba-hamba pilihanNya. Kala itu, kaum misionaris, musuh-musuh Islam bergembira dan segera menterjemahkannya ke berbagai bahsa mereka. Fenomena ini disebutkan oleh Muhammad Mahdi al Ashfahani al Kazhimi pada jilid II hal 90 dalam bukunya yang berjudul Ahsanul Wadi’ah yang merupakan penyempurna buku Roudhotul Jinan.

Dalam buku mereka al Kafi karya Kulaini, terdapat dua teks yang jelas. Teks pertama hal 54 edisi tahun 1278 H Iran yaitu:
“Dari Jabir al Ju’fi, ia menuturkan;  Aku mendengar Abu Ja’far ‘alaihissalam berkata: “Tidak ada orang yang mengaku telah hafal Al Qur’an semuanya sebagaimana ketika diturunkan melainkan ia adalah seorang pendusta. Tidak ada orang yang berhasil mengumpulkan dan menghafalnya secara utuh sebagaimana ketika diturunkan selain Ali ibn Abi Tholib dan para Imam setelahnya”.

Setiap orang Syi’ah yang membacanya pasti mengimaninya karena menurut mereka kitab Al Kafi ini kedudukannya sama dengan Shohih Bukhori bagi kita kaum muslimin.

Kita, Ahlus Sunnah, berkeyakinan bahwa sesungguhnya kaum Syi’ah berdusta atas nama Al Baqir Abu Ja’far rohimahulloh. Buktinya Ali sendiri selama menjabat kilafah –padahal beliau bertempat tinggal di kota kufah- tidak pernah beramal selain dengan mushaf yang telah dikumpulkan dan disebarluaskan serta ditetapkan agar diamalkan di seluruh penjuru oleh Kholifah Utsman, yaitu mushaf yang tetap diamalkan sampai hari kiamat nanti. Jasa Kholifah Utsman ini merupakan karunia Alloh ta’ala.

Andai Ali y memiliki mushaf lain, ia pasti mengamalkannya dan memerintahkan kaum muslimin untuk menyebarluaskan dan mengamalkannya karena ia adalah kholifah dan penguasa, yang dalam wilayah kekuasaannya tidak ada orang yang berani menentangnya. Andai ia memiliki mushaf lain, tetapi menyembunyikannya dari kaum muslimin, berarti ia telah berkhianat kepada Alloh, RosulNya dan agama Islam!!.
Jabir Al Ju’fi mengaku mendengan ucapan keji tersebut dari Imam Abu Ja’far Muhammad al Baqir. Walaupun dianggap berkredibilitas tinggi (dapat dipercaya) menurut mereka, tetapi sebenarnya ia dikenal oleh imam-imam umat Islam sebagai pendusta. Abu Yahya Al Himmani berkata, “Aku mendengar Abu Hanifah berkata : “Aku tidak pernah melihat seorangpun di antara orang-orang yang pernah aku temui yang lebih dusta daripada Jabir Al Ju’fi”.
Teks dari Abu Ja’far yang lebih nyata  kedustaannya disbanding dengan teks pertama dalam Al Kafi ialah teks dari anak beliau Ja’far As Shiddiq rohimahulloh ta’ala di hal 57 edisi tahun 1278 H Iran (di hal 238 edisi 1381 H):
“Dari Abu Bashir, ia menuturkan : Aku pernah masuk menemui Abu Abdillah (Ja’far as Shodiq)…. Abu Abdillah berkata,: “Dan sesungguhnya kami memiliki Mushaf Fathimah alaihas salam… ia menuturkan, “”Akupun bertanbya, ‘Apa Mushaf Fathimah itu?’ Ia menjawab, ‘Mushaf seperti Al Qur’an kalian itu, tiga kali lipat (tebalnya). Sungguh demi Alloh tidak ada di dalamnya satu hurufpun dari Al Qur’an kalian’”.
Teks-teks orang-orang Syi’ah yang dipalsukan atas nama Imam mereka Ahlu Bait ini telah ada sejak zaman dulu. Teks-teks itu telah dibukukan oleh Muhammad bin Ya’qub al Kulaini ar Rozi dalam bukunya Al Kafi, lebih dari seribu tahun silam. Bahkan teks-teks tersebut telah ada jauh-jauh hari sebelumnya karena ia menukil teks tersebut dari pendahulunya, para tokoh pendusta para arsitek paham Syi’ah.
Semasa Spanyol berada di bawah kekuasaan bangsa Arab dan Islam, Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm (ulama Sunnah) beradu argumentasi dengan pendeta NAsrani melalui teks-teks kitab mereka. Beliau berhasil membuktikan kepada mereka bahwa kitab itu mereka telah mengalami penyelewengan dan bahkan kita aslinya telah hilang. Menyikapi hal itu, para pendeta tersebut menghujat balik beliau bahwa kaum Syi’ah telah menetapkan bahwa Al Qur’an juga mengalami penyelewengan. Mendengar jawaban yang demikian, Ibnu Hazm menjawab bahwa anggapan kaum Syi’ah tidak dapat dijadikan sebagai bukti untuk memojokkan al Qu’an  tidak juga ummat Islam karena kaum Syi’ah tidak termasuk umat Islam.

Ada satu fakta berbahaya yang kami rasa perlu untuk diketahui oleh pemerintah umat Islam. Sekte Syi’ah Imamiyah al Itsna Asyariyah yang dikenal juga dengan Al Ja’fariyyah berkeyakinan bahwa seluruh pemerintah Islam sepeninggal Nabi r hingga saat ini kecuali tahun-tahun kepemimpinan Ali ibn Abi Tholib y merupakan pemerintah yang tidak syar’I tidak sah. Karena itu pengunut Syi’ah tidak boleh loyal dan ikhlas kepada mereka. Mereka mewajibkan penganut Syi’ah untuk senantiasa memusuhi dan mewaspadai pemerintahan tersebut! Hal ini karena mereka beranggapan kekuasaan pemerintahan tersebut baik yang telah lalu maupun sekarang serta yang akan datang merupakan kekuasaan hasil rampasan. Penguasa yang sah menurut paham dan ideology Syi’ah hanya ada pada imam-imam dua belas, baik mereka menjalankan kepemimpinan secara langsung atau tidak. Para pemimpin selain mereka semenjak Abu Bakar, Umar dan para kholifah setelahnya hingga saat ini –apapun jasnaya untuk agama Islam dan apapun perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam, menegakkan kalimat Alloh di muka bumi ini, dan memperluas negri Islam- sebenarnya adalah penentang dan perampas kekuasaan hingga hari kiamat!
>>>bersambung ke bagian 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar